Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu pengetahuan. Islam sangat memperhatikan aspek ini karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan peningkatan taraf hidup manusia, pembentukan peradaban dan lain sebagainya. Al-Qur’an mengajak kaum muslimin untuk mencari, mendapatkan, dan mengkaji ilmu dan kearifan serta menempatkan orang-orang yang memiliki pengetahuan tinggi pada derajat yang sangat tinggi. Islam menempatkan ilmu pada posisi yang sangat penting, sehingga mencari ilmu itu hukumnya wajib. Islam juga mengajarkan bahwa dalam menuntut ilmu berlaku prinsip tak mengenal batas – dimensi – ruang dan waktu. Artinya di manapun dan kapanpun (tidak mengenal batas tempat dan waktu) kita bisa belajar. (Heri Jauhari Muchtar, 2005: 13)
Saking pentingnya, Ilmu pengetahuan sering dianggap sebagai cabang kebenaran, tetapi aspek terpenting dari kebenaran ilmiah ini tidaklah bersifat tertinggi dan final, namun demikian berubah secara berkesinambungan. Kesinambungan penelitian ilmiah dan penemuan-penemuan, berarti bahwa apa yang hari ini disebut ilmiah bisa saja akan menjadi lain di kemudian hari, disebabkan oleh adanya unsur baru dalam ilmu pengetahuan manusia. Akhirnya, walaupun upaya manusia dilaksanakan melalui anggota tubuh manusia termasuk juga keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya, tetapi fakta ilmiah tetap terbatasi oleh berbagai keterbatasan, terutama dalam memandang kesejatian alam semesta.
Dalam al-Qur’an, kata ‘ilm dan kata-kata jadiannya digunakan lebih dari 780 kali. Beberapa ayat pertama, yang diwahyukan kepada Rasulullah saw, menyebutkan pentingnya membaca, pena dan ajaran untuk manusia dalam kehidupannya. Sebagaimana firman Allah swt dalam Surat al-‘Alaq ayat 1-5: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah. Yang Mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS: al-’Alaq: 1-5).
Dari ayat tersebut, Allah swt menghendaki manusia agar mengenal-Nya melalui perwujudan dan keghaiban-Nya dalam alam semesta ini. Pengamatan tentang rahasia ciptaan Allah swt yang terdapat di alam akan menghilangkan pandangan yang membedakan ilmu pengetahuan dan agama, serta membuka semua pintu kemajuan sampai tak terbatas luasnya. Melalui studi dan pengenalan alam semesta ini, manusia dapat naik derajatnya ke tingkat yang lebih tinggi dari kebendaan sehingga mencapai ketinggian moral dan rahmat Allah swt yang kekal. Namun, jika manusia menolak untuk mengikuti jalan ini dengan menempuh jalan materi, maka ia akan jatuh dalam kebodohan yang paling dalam sehingga mereka membuat penafsiran secara ilmiah tentang kehidupan dan alam semesta yang lepas dari petunjuk al-Qur’an (Dwi Suheriyanto, 2004: 357). Hal ini dijelaskan Allah swt dalam Surat al-Ankabut ayat 49: “Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat kami kecuali orang-orang yang dzalim” (QS: al-Ankabut :49).
Perdebatan tentang ilmu apa yang dianjurkan oleh Islam, telah menjadi pokok penting yang mendasar sejak hari-hari pertama Islam, apakah ada ilmu khusus yang harus dicari atau tidak. Sebagian ulama’ besar Islam hanya memasukkan cabang-cabang ilmu yang secara langsung berhubungan dengan agama yang perlu untuk dipelajari dan dikaji, sedangkan tipe ilmu-ilmu yang lain mereka menyerahkan kepada masyarakat untuk menentukan ilmu mana yang paling penting dan dibutuhkan untuk memelihara dan dapat menyejahterakan diri mereka masing-masing. Rasulullah bersabda: “Barang siapa menginginkan dunia ia harus berilmu, barang siapa menginginkan akhirat ia harus berilmu, dan barang siapa menginginkan keduanya maka ia harus berilmu”.
Ilmu menurut kamus kosakata al-Qur’an berarti mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Ilmu dibagi dua, pertama, mengetahui inti sesuatu itu (oleh ahli ilmu logika dinamakan tashawwur), kedua, menghukumi adanya sesuatu pada sesuatu yang ada atau menafikan sesuatu yang tidak ada (oleh ahli ilmu logika dinamakan tashdiq, maksudnya mengetahui hubungan sesuatu dengan yang lain).
Said Aqil Husin al-Munawar (2004:359) membedakan ilmu menjadi ilmu teoritis dan ilmu aplikatif. Ilmu teoritis berarti ilmu yang hanya membutuhkan pengetahuan tentang hal tersebut. Jika telah diketahui berarti telah sempurna, seperti ilmu tentang keberadaan dunia. Sedangkan ilmu aplikatif adalah ilmu yang tidak sempurna tanpa dipraktekkan, seperti ilmu tentang ibadah dan akhlaq. Kalau kita mengacu pada ilmu yang disebut terakhir, maka penerapan dari ilmu itu merupakan hal yang esensial. Nilai suatu ilmu terletak pada penerapannya yang sesuai dan tepat guna.
Lebih lanjut al-Ashfahani membedakan ilmu atas ilmu aqli (rasional) dan sam’i (berdasarkan wahyu). Ilmu aqli adalah ilmu yang diperoleh melalui akal dan penelitian, sedangkan ilmu sam’i merupakan ilmu yang didapat melalui pemberitaan wahyu. Ilmu yang disebut pertama diperoleh manusia dengan jalan mempelajari fenomena alam. Ilmu ini berpangkal pada pengetahuan dan pengalaman. Pangkalnya adalah penalaran dikatakan bahwa tindakan berdasarkan penalaran itulah yang selanjutnya melahirkan berbagai konsep, teori, dalil, hukum, dan ketentuan-ketentuan lain secara universal serta berkelanjutan. Ilmu kategori ini bukan sekedar perenungan dan pengutaraan, melainkan juga menimbulkan kecenderungan bagi diberlakukannya percobaan serta dihasilkannya peralatan dan penggunaan peralatan itu. Ilmu ini mendorong lahirnya penguasaan teknologi. Said Aqil Husin al-Munawar (2004:359).
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu gagasan yang paling canggih, amat komprehensif dan mendalam yang ditemukan di dalam al-Qur’an ialah konsep ilm. Pentingnya konsep ini terungkap dalam kenyataan turunnya sekitar 780 kali. Dalam sejarah peradaban muslim, konsep ilmu secara mendalam meresap ke dalam seluruh lapisan masyarakat dan mengungkapkan dirinya dalam semua upaya intelektual. Tidak ada peradaban lain yang memiliki konsep pengetahuan dengan semangat yang sedemikian tinggi dan mengajarkannya dengan amat tekun seperti itu.
Ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat di dunia Islam pada zaman klasik (670-1300 M), yakni sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai dengan akhir masa Daulah Abbasiyah di Baghdad. Pada masa ini, dunia Islam telah memainkan peran penting, baik dalam bidang ilmu pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Dalam hubungan ini Harun Nasution (1979:71) mengatakan bahwa cendekiawan-cendekiawan muslim bukan hanya ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku Yunani, tetapi menambahkan ke dalam hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pikiran mereka dalam ilmu filsafat. Para ilmuwan tersebut memiliki pengetahuan yang bersifat integrated, yakni bahwa ilmu pengetahuan umum yang mereka kembangkan tidak terlepas dari ilmu agama atau tidak terlepas dari nilai-nilai Islam.
Konsep ajaran Islam tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang demikian itu, menurut Syamsul Arifin (1996:21) didasarkan pada beberapa prinsip sebagai berikut: Pertama, ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka tauhid atau teologi. Yakni teologi yang bukan semata-mata meyakini adanya Tuhan dalam hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan tingkah laku, melainkan teologi yang menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran manusia yang paling dalam menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya. Lebih tegasnya adalah teologi yang memunculkan kesadaran, yakni suatu matra yang paling dalam, pada diri manusia yang menformat pandangan dunianya, yang kemudian menurunkan pola sikap dan tindakan yang selaras dengan pandangan dunia itu. Karena itu teologi pada ujungnya akan mempunyai implikasi yang sangat sosiologis, sekaligus antropologis.
Kedua, ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertakwa dan beribadah kepada Allah swt. Hal ini penting ditegaskan, karena dorongan al-Qur’an untuk mempelajari fenomena alam dan sosial tampak kurang diperhatikan, sebagai akibat dan dakwah Islam yang semula lebih tertuju untuk memperoleh keselamatan di akhirat. Hal ini mesti diimbangi dengan perintah mengabdi kepada Allah swt dalam arti yang luas, termasuk mengembangkan iptek.
Ketiga, ilmu pengetahuan harus dikembangkan oleh orang-orang Islam yang memiliki keseimbangan antara kecerdasan akal, kecerdasan emosional dan spiritual yang dibarengi dengan kesungguhan untuk beribadah kepada Allah swt dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi dalam sejarah di abad klasik, di mana para ilmuwan yang mengembangkan ilmu pengetahuan adalah pribadi-pribadi yang senantiasa taat beribadah kepada Allah swt.
Keempat, ilmu pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka yang integral, yakni bahwa antara ilmu agama dan ilmu umum walaupun bentuk formalnya berbeda-beda, namun hakikatnya sama, yakni sama-sama sebagai tanda kekuasaan Allah swt. Dengan pandangan yang demikian itu, maka tidak ada lagi perasaan yang lebih unggul antara satu dan lainnya. Dengan menerapkan keempat macam strategi pengembangan ilmu pengetahuan tersebut, maka akan dapat diperoleh keuntungan yang berguna untuk mengatasi problem kehidupan masyarakat modern sebagaimana tersebut di atas.
Sedangkan menurut M. Shiddiq al-Jawi (2007) peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada dua hal. Pertama, menjadikan aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan syariah Islam (yang lahir dari aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walaupun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.[ahf]
Daftar Pustaka
Heri Jauhari Muchtar. 2005. Fiqih Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Dwi Suheriyanto. 2004. Memadu Sains dan Agama: Menuju Universitas Islam Masa Depan. Malang: Bayumedia dan UIN-Malang Press.
Said Aqil Husin al-Munawar. 2004. Al-Qur’an: Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press.
Harun Nasution. 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: UI Press.
Syamsul Arifin dkk. 1996. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Jakarta: SI Press.
M. Shiddiq al-Jawi. 2007. Peran Islam dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. (Online)http://www.majelismujahidin.com, diakses 21 Januari 2007.
sumber : http://masthoni.wordpress.com/2009/08/13/d/
Dwi Suheriyanto. 2004. Memadu Sains dan Agama: Menuju Universitas Islam Masa Depan. Malang: Bayumedia dan UIN-Malang Press.
Said Aqil Husin al-Munawar. 2004. Al-Qur’an: Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press.
Harun Nasution. 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: UI Press.
Syamsul Arifin dkk. 1996. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Jakarta: SI Press.
M. Shiddiq al-Jawi. 2007. Peran Islam dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. (Online)http://www.majelismujahidin.com, diakses 21 Januari 2007.
sumber : http://masthoni.wordpress.com/2009/08/13/d/
0 komentar:
Posting Komentar